Ramadhan di tengah Manusia Krisis Makna

Think again



Hari pertama Ramadhan tahun ini telah tiba, tarawih pertama di tahun ini pun semalam telah dilaksanakan. Suasana yang selalu dirindukan, di mana masjid kembali ramai dengan jamaah musiman, ketika 2 sholat yang sulit dilakukan oleh orang munafik, subuh dan isya menjadi ramai dengan para individu yang ingin mengejar kasih Allah di bulan yang penuh dengan obral pahala ini. 


Sholat berjamaah di masjid telah menjadi budaya tahunan di bulan Ramadhan, bukan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Tidak hanya itu, di bulan yang penuh rahmat ini, media sosial mendadak ramai dengan postingan bernada islami, menunjukkan bahwa dirinya adalah muslim taat yang gemar beribadah. Tidak ketinggalan, iklan-iklan di kotak ajaib bernama televisi beserta acara-acara humor penuh dengan adegan slapstik menjadi paket wajib yang menjadi pengisi waktu luang menunggu waktu berbuka tiba. Tidak salah rasanya jika mengatakan bahwa “Bulan Ramadhan telah menjadi komoditas industri hiburan yang dapat meraup banyak pundi materi untuk kemudian dihamburkan ketika Lebaran tiba” siklus tahunan yang bisa diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya. Memang tidak bisa dipungkiri. Jika, di Indonesia Ramadhan bukan hanya sebuah ritual keagamaan, tetapi menjadi sebuah rentetan budaya yang siklusnya sama tiap tahunnya. Seolah-olah telah terjadi hegemoni standarisasi, berita pun mengalami nasib yang sama. Ketika Ramadhan tiba, kolom-kolom dalam koran atau headline berita di media televisi berisi berita musiman yang tidak bisa kita katakan baru, habisnya tiket mudik, macetnya jalan akibat mobil pribadi, ataupun infrastruktur jalan mudik yang tak kunjung selesai diperbaiki menjadi komoditas yang mampu meningkatkan oplah atau traffic produsen informasi di Indonesia.

Mungkin inilah yang di sebut dengan “Berkah Ramadhan”. Sayangnya, banyak yang menganggap puasa hanya sebatas kegiatan menahan makan, minum, dan marah mulai dari terbitnya matahari hingga tenggelamnya sang surya di ujung barat dunia. Nilai-nilai yang tersimpan dalam kegiatan menyehatkan ini sering kali redup akibat kemegahan duniawi melalui pernak-pernik material dan banjir diskon di pusat-pusat perbelanjaan. Menyadur istilah dari prof. Idi Subandy dengan “Manusia krisis makna”, tampaknya hal tersebut telah populer di kalangan manusia modern, masyarakat era kapitalisme akhir. Menarik membaca postingan mas Dandhy Dwi Laksono, seorang sutradara yang membawahi tim “ekspedisi biru” melalui akun facebooknya 

"KAMBING HITAM RAMADAN. Ujian terbesar orang puasa dimulai setiap jam lima sore, di lapak-lapak ta'jil pinggir jalan hingga resto-resto tempat bukber. Lalu ujian berlanjut di toserba-toserba dan supermarket setiap akhir pekan hingga menjelang lebaran. Terutama ketika THR sudah di tangan. Abrakadabra! Segala sesuatu mendadak sontak seolah menjadi kebututuhan. Dan kita gagal diuji. Diuji oleh iklan yang diselipkan di acara-acara khutbah agama dan banyolan sahur di TV. Diuji oleh iblis konsumtivisme berkedok adzan maghrib. Zakat yang kita berikan kepada fakir miskin tak sebanding dengan apa yang telah kita lakukan pada nilai uang dan rezeki mereka akibat inflasi yang kita timbulkan. Atas kegagalan dan aib itu, setiap tahun kita menghibur diri dengan menyerukan penutupan warung-warung dengan dalih minta dihormati.” 

Senada dengan apa yang di kemukakan menteri agama yang memberikan pernyataan jika warung boleh buka ketika siang hari demi menghormati mereka yang tidak berpuasa. Walau banyak mendapat kritik dari para netizen di dunia maya, pemikiran semacam itu sangat sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Bayangkan betapa lemahnya kita sehingga menyuruh warung-warung tersebut tutup, pernahkan terbesit di otak kita jika para penjaja makanan tersebut tetap membutuhkan uang demi menyambung hidup atau betapa sulitnya teman kita yang tidak berpuasa mencari makanan sebagai sumber tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan mereka? atau tidakkah kualitas pahala kita akan berkurang dengan ditutupnya warung-warung jajanan tersebut?. Perlu kita ingat kembali jika berpuasa tidak hanya persoalan menahan lapar dan haus, tetapi lebih dari itu.

Comments

Post a Comment

Popular Posts