Mana yang lebih penting?

"What is more important? The tools or the man behind the tool?" pertanyaan yang akhir-akhir ini memenuhi otak saya. Pertanyaan tersebut muncul setelah saya membaca tulisan tentang kritik mengenai budaya konsumerisme yang keadaannya semakin parah di masyarakat kita, meminjam istilah dari Prof. Idi Subandy dengan manusia yang sedang krisis komunikasi empati.

Olahraga tentu tidak terlepas dari alat-alat pendukungnya, bahkan parkour sendiri (olahraga yang katanya tidak membutuhkan peralatan apapun) dalam kenyatannya fashion dan style tidak bisa dipisahkan dari entitas olahraga itu sendiri, isu manfaat menjadi kebutuhan sekunder yang harus dipenuhi, isu kesehatan menjadi fokus lain yang entah hilang kemana, begitu juga dengan olahraga hobi lain selain parkour. Contoh lain adalah sepeda gunung, sepeda yang keren dengan atribut yang mahal (groupset, wheelset, dsb) menjadi faktor utama yang diperlihatkan baik dalam dunia virtual maupun ketika berkumpul dalam dunia nyata. Esensi utama dari beberapa olahraga hobi tersebut menjadi perhatian lain dari para praktisinya saat ini, hal tersebut tentu mendorong para entitas bisnis untuk berlomba-lomba menyajikan teknologi terbaru yang (dianggap) lebih mutakhir dari teknologi yang dahulu. Begitu juga dengan style, yang terbaru selalu lebih keren dari yang lama. Apabila dihubungkan dengan konteks masyarakat Indonesia, beberapa contoh diatas tentu menunjukkan hal yang sesuai dengan budaya kita yang menuhankan kebaruan, artinya segala yang usang harus dibuang dan diganti yang baru. Masyarakat kita telah mulai meninggalkan budaya "sederhana" dan mulai berevolusi menjadi masyarakat hedonis dengan konsumerisme yang tinggi, efeknya adalah masyarakat kita selalu menilai kesuksesan seseorang selalu dilihat dari keberhasilan material yang dicapai, keberhasilan material yang dicapai tentu berbanding lurus dengan keadaan sosial mereka di masyarakat (lebih dihargai dan dihormati).

Saya teringat ketika pertama kali blusukan dengan komunitas JHB (Jogja Happy Bikers) di track Kalibiru, Waduk Sermo, Kulon Progo. Dari kumpulan sepeda-sepeda gunung yang keren, terdapat seseorang yang menarik perhatian saya, Pak Ndaru, begitu beliau dipanggil, dengan sepeda kuno fork rigid dengan v brake beliau memandu kami melewati track downhill kalibiru. Dengan lancar beliau memandu kami dengan sepedanya, berbanding terbalik dengan kami (dengan sepeda gunung yang keren dan teknologi sepeda yang mumpuni), jatuh bangun kami melewati spot yang kering tersebut. blusukan tersebut memberi kesan yang tertanam di otak saya, bahwa kemampuan manusia (harus) lebih diutamakan daripada tool, kesederhanaan yang diperlihatkan begitu menarik hati saya. 

Parkour juga tidak terlepas dari teknologi material yang mulai menghilangkan esensi pentingnya adaptasi. Sepatu-sepatu yang dibuat khusus untuk parkour/freeruning, menurut saya mulai menggeser pentingnya proses adaptasi kita untuk melewati segala rintangan dengan apa yang ada di tubuh kita, lihatlah beberapa contoh nyata, ketika saya menyuruh salah satu praktisi untuk berlatih climb up, bukannya menyalahkan diri sendiri karena ketidak berhasilannya, tetapi sepatu yang tidak cocok menjadi pelampiasan ketidak mampuannya untuk melakukan gerakan climb up. Begitu juga dengan spot-spot yang khusus di buat untuk Parkour/freeruning (Parkour Park, dsb) akan berpotensi melemahkan adaptasi para praktisi tersebut dengan lingkungan nyata yang mereka hadapi sehari-hari. Fashion yang dipakai tentu tidak berpengaruh dengan kemampuan mereka untuk secepat/sekreatif mungkin ketika melewati obstacle.

Melalui pengamatan dan pengalaman pribadi, saya ingin memperlihatkan beberapa dampak yang ditimbulkan ketika kita lebih mementingkan tool daripada kemampuan manusia, tidak hanya dalam konteks sepeda gunung, tapi olahraga-olahraga hobi lain termasuk parkour. 
  1. Ketakutan akan kehilangan/kerusakan benda-benda material. individu yang telah terjangkit penyakit materialisme tidak akan pernah tenang meninggalkan sepeda mahalnya untuk sekedar membeli barang di warung, akan selalu was-was meninggalkan sepatu khususnya yang dibeli dengan harga mahal. Ketakutan akan kehilangan/ kerusakan suatu barang pada akhirnya akan berujung pada perlindungan berlebihan pada barang tersebut, fungsi dari alat-alat pendukung tersebut menjadi hilang, sehingga yang terjadi seolah-olah alat-alat tersebut lah yang menjadi tuan kita. Apa guna sepeda kalau tidak dipakai? apa guna sepatu mahal yang khusu (parkour, sepeda, dsb) kalau tidak digunakan?.
  2. Keengganan meningkatkan kemampuan diri. Mementingkan alat telah menjadi budaya kita, ditambah lagi dengan budaya instan yang semakin menjangkiti masyarakat Indonesia sehingga meningkatkan kemampuan diri menjadi poin kedua dalam segala hal. Anggapan yang berkembang di masyarakat, kalau kita memakai alat yang terbaru pasti kita akan mudah melakukan hal yang dahulu susah kita lakukan, sebuah pernyataan naif yang kadang masih kita percayai.
  3. Semakin hilangnya rasa empati dalam diri kita. Mungkin efek tersebut muncul tanpa kita sadari, dengan berpatokan kepada materialisme dan sesuatu yang serba baru kita akan memfokuskan sesuatu pada tujuan (material) kita. Contohnya, Menabung dan berhemat sedemikian rupa untuk membeli barang yang kita impikan, tanpa peduli dengan saudara kita yang sedang kelaparan di luat sana, kita enggan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk sekedar bersedekah membantu mereka yang tidur di jalanan. hanya untuk memenuhi hasrat kita dengan hobi kita.
Tampaknya betul dengan apa yang dituliskan dalam sebuah artikel yang pernah saya baca, apakah manusia modern dengan segala teknologinya menjadi manusia yang semakin kuat? Teknologi yang semakin memudahkan kehidupan manusia nyatanya seperti paradoks, di satu sisi teknologi tersebut mampu memudahkan kehidupan kita, di sisi lain teknologi tersebut semakin melemahkan manusia apabila kita terlalu terlena dengan teknologi tersebut.

Lihatlah bagaimana orang di zaman dahulu menggunakan kemampuan fisiknya untuk bertahan hidup, atau orang-orang pada periode tahun 80-90an dengan sepeda rigidnya menerjang track downhill dengan gagahnya. apakah kita semakin lemah??

Kost, 2 Januari 2014

Comments

Popular Posts